Home » » Resume Filsafat Komunikasi

Resume Filsafat Komunikasi

Di Posting Oleh : Admind.msc- The Vamphire 10.20.2011 -10:02 AM

Filsafat Komunikasi

Ketika manusia melihat atau mengalami suatu peristiwa, akan terdorong naluri ingin tahu ­nya, ia pun akan bertanya: apakah ini? Dari mana datangnya? Apa sebabnya demikian? Mengapa demikian? Manusia yang semula tidak tahu, ia akan berusaha untuk mencari tahu kemudian mencari tahu, hingga keingintahu nya terpenuhi. Jika keingintahuannya terpenuhi, sementara waktu ia akan merasa puas. Namun, masih banyak hal yang mengelilingi manusia, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, ada atau yang mungkin ada, yang berarti masih harus diuji kebenarannya. Hal ini kembali mendorong naluri ingin tahu, membuat pertanyaan lain yang yang terus bermunculan.
Terdapat dua cara manusia untuk tahu, yaitu bertanya kepada manusia lain atau bertanya pada diri sendiri dengan melakukan penyelidikan sendiri. Makin lanjut usia seseorang, kemampuan menyelidiki sendiri akan semakin besar, dan akan membuat hasil tahunya menjadi lebih banyak, lebih luas, dan lebih dalam. Semakin banyak dan dalam yang diketahui, ia akan semakin ingin tahu. Sepanjang hidup, naluri ingin tahu akan mendorong manusia untuk terus mencari tahu. Dengan demikian, naluri ingin tahu dapat diartikan sebagai dorongan alamiah yang dibawa manusia sejak lahir untuk mencari tahu tentang segala sesuatu, termasuk hal diri sendiri, dan baru akan berhenti di akhir kesadaran manusia pemiliknya.

Ada dua kemungkinan yang terjadi ketika manusia mencari tahu, bahwa yang didapat adalah tahu yang benar atau tahu yang keliru. Manusia tidak suka dengan kekeliruan, dimana semata-mata mereka ingin mencari tahu yang benar, membuat kebenaran sangat berarti bagi setiap manusia. Sebelum mengetahui, manusia terlebih dahulu melihat, mendengar, serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Segala yang dilihat, didengar, dan dirasa itulah yang merangsang naluri ingin tahu seseorang. Sepanjang hidupnya, manusia akan dirangsang alam sekitarnya untuk tahu. Hal utama yang terkena rangsang adalah panca indera, yaitu penglihatan, penciuman, perabaan, pendengaran, serta pengecapan. Hasil persentuhan alam dengan panca indra disebut peng-ALAM-an (pengalaman). Ketika tersentuh rangsang, manusia akan bereaksi. Namun, pengalaman semata-mata tidak membuat seseorang menjadi tahu. Pengalaman hanya memungkinkan seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut penge-TAHU-an (pengetahuan). Pengetahuan ada jika demi pengalamannya, manusia mampu mencetuskan pernyataan atau putusan atas objeknya. Dengan kata lain, orang yang tidak dapat memberi pernyataan atau putusan demi pengalamannya dikatakan tidak berpengetahuan.Manusia yang tahu dikatakan berpengetahuan. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, pengetahuan adalah hasil dari tahu. Contoh, jika seseorang tahu bahwa rambut Heryanto beruban, artinya ia mengakui hal ”uban” terhadap ”rambut Heryanto”. Ia mengakui sesuatu terhadpa sesuatu. Ia membuat sesuatu, atau dalam filsafat disebut putusan. Jadi, pernyataan atau putusan adalah pengakuan sesuatu terhadap sesuatu.

Orang yang tidak tahu tidak dapat membuat putusan, tidak dapat mengakui apapun, tidak dapat memberi pernyataan, mengetahui sesuatu atas sesuatu. Dengan kata lain, orang yang tidak dapat membuat putusan dikatakan tidak tahu. Oleh karena itu, untuk dikatakan tahu orang harus sadar bahwa ia tahu, dibuktikan dengan kemampuannya membuat keputusan. Namun, keputusan tidak selamanya harus dicetuskan secara verbal, mungkin hanya tersimpan di hati manusianya saja.

Telah dikemukakan, tahu hendak mencakup objeknya. Apabila pengetahuan tidak sesuai dengan objeknya, maka disebut keliru. Sebaliknya, jika sesuai dengan objek, pengetahuannya dikatakan benar. Persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya dinamakan kebenaran. Ketika kita memberi putusan tentang Intan, ”Oh, saya tahu, Intan itu yang berambut pendek, gemuk, kulitnya hitam kan?” Nyatanya, Intan tidak berambut pendek, gemuk, dan berkulit hitam. Artinya, terdapat ketidak sesuaian antara tahu dan objeknya. Maka, dikatakan bahwa kita keliru. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan objek, yaitu pengetahuan objektif: adanya persesuaian antara tahu dengan objeknya.
Karena suatu objek memiliki banyak aspek, sulit untuk mencakup keseluruhannya. Artinya, akan sulit untuk mencapai seluruh kebenaran. Minimal pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan aspek yang diketahuinya. Jika seseorang tidak tahu tentang salah satu aspek dari suatu objek, ia bukan keliru melainkan dikatakan bahwa pengetahuannya tidak lengkap. Kekeliruan baru terjadi jika manusia mengira tahu tentang satu aspek, tetapi aspek itu tidak pada objeknya. Contohnya, dinyatakan bahwa Intan gemuk nyatanya tidak gemuk.
Sebagaimana diutarakan, terdapat dua cara manusia mendapat pengetahuan, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman orang lain yang diberitahukan kepadanya, baik secara langsung maupun melalui medium, misalnya sebuah buku. Contoh pengetahuan yang diperoleh dari orang lain adalah kita bisa berkata bahwa kutub utara dingin, padahal kita belum pernah ke sana. Kita mengetahui hal itu dari orang lain yang sudah pernah pergi ke sana, ataupun kita mengetahuinya melalui membaca buku yang menceritakan bahwa kutub utara dingin.

Berikut ini terdapat beberapa sikap mental di dalam menyikapi pengetahuan yang baru didapat, baik berdasarkan pengalaman sendiri maupun berdasarkan pengalaman orang lain. Sikap mental tersebut di antaranya:
1.   Ke-YAKIN-an (Keyakinan)
      Dalam mencari pengetahuan yang benar, manusia harus bersifat kritis, tidak cepat menyimpulkan telah mencapai kebenaran. Jika suatu ketika seseorang merasa cukup alasan pengetahuannya benar, berarti ia telah memiliki keyakinan. Tapi, keyakinan tidak selalu benar. Keyakinan hanya menunjukkan sikap manusia yang tahu, ia yakin karena telah cukup alasan bahwa pengetahuannya benar.
2.   Ke-PASTI-an (Kepastian)
      Bila manusia berdasarkan pengalamannya sendiri telah membuktikan bahwa keyakinannya benar, dapat dikatakan ia telah memiliki kepastian. Jadi, kepastian adalah keyakinan yang telah mendapat pembuktian kebenaran berdasarkan pengalaman. Dalam kepastian, manusia tidaka akan bersikap sangsi lagi.
3.   Ke-PERCAYA-an (Kepercayaan)
      Beda halnya dengan kepastian. Bila kepastian adalah sikap mental sebagai hasil dari mencari kebenaran berdasarkan pengalaman sendiri, dimana karena telah mengalami sendiri, seseorang meyakini kebenaran sebagai suatu kepastian. Sedangkan apabila kebenaran pengetahuan didapat dari pengalaman orang lain yang dipercaya, maka disebut kepercayaan. Contohnya, ketika seorang astronomi menyatakan bahwa akan ada gerhana, Anda akan mempercayai kebenaran pengetahuan itu karena percaya pada kredibilitas atau otoritas orang yang menyatakan hal tersebut. Jadi, percaya adalah menerima kebenaran karena kredibilitas atau otoritas orang yang menyampaikan. Agama dikatakan suatu jenis kepercayaan karena kebenarannya diterima berdasarkan kredibilitas dan otoritas orang yang menyampaikan, yaitu para nabi dan rasul. Syarat dari objek agama adalah tidak harus diverifikasi atau diuji.
Pengetahuan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dipergunakan dalam rumah tangga, pertanian, perikanan, dan sebagainya. Pengetahuan yang digunakan seseorang terutama untuk kehidupan sehari-hari tanpa mengetahui seluk beluknya disebut pengetahuan biasa atau pengetahuan saja. Contohnya, seorang petani tahu benar berapa jumlah pupuk yang harus disiram pada tanamannya, tapi ia tidak benar-benar tahu mengapa jika terlalu banyak atau kekurangan pupuk maka kualitas tanamannya menurun. Dan juga, petani itu tahu benar kapan harus mulai menanam satu jenis tanaman dan kapan memanennya. Akan tetapi, ia tidak benar-benar tahu mengapa tanaman itu harus ditanam pada saat itu dan dipanen pada saat berikutnya. Ia hanya tahu bahwa demikianlah apa yang diberitahukan kepadanya secara turun temurun, juga berdasarkan apa yang ia dapat dari pengalamannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan yang digunakan seseorang dengan harus tahu benar apa sebabnya demikian dan mengapa demikian. Jenis pengetahuan ini disebut ilmu. Contohnya, seorang mahasiswa pertanian yang bahkan belum pernah bercocok tanam sendiri tahu benar berapa banyak pupuk yang harus diberikan pada jenis tanaman tertentu. Ia tahu benar apa sebabnya demikian dan mengapa demikian.
Karena tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, maka terdapat sejumlah persyaratan agar pengetahuan (knowledge) layak disebut ilmu (science). Persyaratan ini disebut sifat ilmiah. Ada 4 syarat agar pengetahuan dapat disebut ilmu, yaitu:
1.   Sistematis, yaitu tersusun dalam sebuah rangkaian sebab akibat. Untuk mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis, sehingga membentuk suatu sistem, yang artinya utuh menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaiansebab akibat menyangkut objeknya.
2.   Metodis, yaitu cara. Dalam upaya mencapai kebenaran, selalu terdapat kemungkinan penyimpangan. Oleh karena itu, harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran.
3.   Objektif, yaitu sesuai dengan objeknya. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yaitu persesuaian tahu dengan objek, dan karena itu disebut kebenaran objektif, bukan berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
4.   Universal, yaitu secara keseluruhan (umum). Kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu saja, melainkan yang bersifat umum. Dengan kata lain, pengetahuan tentang yang khusus, yang tertentu saja tidak diinginkan. Pola pikir yang digunakan adalah pola pikir induktif, yaitu cara berpikir dari hal-hal khusus sampai pada kesimpulan umum. Contohnya, Segitiga lancip, jumlah sudutnya 180 derajat. Segitiga siku-siku, jumlah sudutnya 180 derajat. Segitiga tumpul, jumlah sudutnya 180 derajat. Maka, ditarik kesimpulan secara umum bahwa semua segitiga bersudut 180 derajat, apapun bentuk segitiga itu.
dengan demikian, jika pengetahuan hendak disebut ilmu, ia harus memenuhi sifat ilmiah sebagai syarat ilmu, yaitu Sistematis, Metodis, Objektif, Universal. Syarat dari objek ilmu adalah harus bisa diverifikasi atau diuji.
       Dalam kehidupannya, manusia memiliki pengetahuan yang beraneka ragam. Terdapat 4 jenis pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, yaitu:
1.   Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang kita tahu begitu saja.
2.   Pengetahuan ilmu / Ilmu Pengetahuan / Ilmu
3.   Pengetahuan agama / teologi, yaitu pengetahuan Ketuhanan
4.   Pengetahuan filsafat
      Seluruh ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Darinyalah seluruh ilmu berasal, darinya pula seluruh ilmu dan pengetahuan manusia dilahirkan. Sikap dasar selalu bertanya menjadi ciri filsafat, menurun pada berbagai cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya, dalam semua ilmu terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami masalah yang sulit dipecahkan, ia akan kembali pada filsafat dan memulainya dengan sikap dasar untuk bertanya. Dalam filsafat, manusia mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, secara totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti, sebab dari segala sebab, mancari jauh ke akar, hingga ke dasar.
Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan sebagai suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya.
Terdapat tiga karakteristik dalam berpikir filsafat, yaitu mendasar, spekulatif, dan menyeluruh. Berdasarkan tiga karakteristik tersebut, maka pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga wilayah utama, yaitu wilayah ada, wilayah pengetahuan, dan wilayah nilai. Dan juga, ketiga wilayah tersebut akan digunakan ketika membahas filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Terdapat tiga aspek dalam filsafat ilmu, yaitu:
1.   Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari Yunani, yaitu onto yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, ontologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keberadaan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?
2.   Epistemologi, yaitu berada dalam wilayah pengetahuan. Kata Epistemologi berasal dari Yunani, yaitu episteme yang artinya cara dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang bagaimana seorang ilmuwan akan membangun ilmunya. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal ini, kita akan mengarah ke cabang fisafat metodologi.
3.   Aksiologi, yaitu berada dalam wilayah nilai. Kata Aksiologi berasal dari Yunani, yaitu axion yang artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai etika seorang ilmuwan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu , kita akan mengarah ke cabang fisafat Etika.
Sedangkan apabila ilmu komunikasi dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari penyampaian pesan antarmanusia, dapat dinyatakan bahwa filsafat ilmu komunikasi mencoba mengkaji ilmu komunikasi dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya. Oleh karena itu, filsafat ilmu komunikasi mencoba untuk menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut:
1. Ontologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Apakah ilmu komunikasi? Apakah yang ditelaah oleh ilmu komunikasi? Apakah objek kajiannya? Bagaimanakah hakikat komunikasi yang menjadi objek kajiannya?
2.  Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya, metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu yang benar dalam hal komunikasi? Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria kebenaran dan logika kebenaran dalam konteks ilmu komunikasi?
3. Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan dan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara operasionalisasi metode ilmiah dalam upaya melahirkan dan menemukan teori-teori dan aplikasi ilmu komunikasi dengan norma-norma moral dan profesional?
Tidak sebagaimana dengan ilmu-ilmu alam yang objeknya eksak, misalnya dalam biologi akan mudah untuk membedakan kucing dengan anjing, mana jantung dan mana hati, sehingga tidak memerlukan pendefinisian secara ketat. Tidak demikian halnya dengan  ilmu-ilmu sosial yang objeknya abstrak. Ilmu komunikasi berada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang berobjek abstrak, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Komunikasi sebagai kata yang abstrak sulit untuk didefinisikan. Para pakar telah membuat banyak upaya untuk mendefinisikan komunikasi. Ilmu komunikasi sebagai salah satu ilmu sosial mutlak memberikan definisi tajam dan jernih guna menjelaskan objeknya yang abstrak itu.

Tidak semua peristiwa merupakan objek kajian ilmu komunikasi. Sebagaimana diutarakan, objek suatu ilmu harus terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya. Karena objeknya yang abstrak, syarat objek ilmu komunikasinya adalah memiliki objek yang sama, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Artinya, peristiwa yang terjadi antarmanusia. Contoh, Anda berkata kepada seorang teman, ”Wah, maaf, kemarin saya lupa menelepon.” Peristiwa ini memenuhi syarat objek ilmu komunikasi , yaitu bahwa yang dikaji adalah komunikasi antarmanusia, bukan dengan yang lain selain makhluk manusia.
Telah diketahui ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu praktika, yaitu Hubungan Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Misalnya, jika ilmu komunikasi juga mempelajari penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia, bagaimanakah agar pesan kehumasan yang ditujukan kepada bebatuan serta tumbuhan yang tercemar limbah perusahaan sehingga memberi respon positif mereka? Dengan kata lain, penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia akan mencederai kriteria objek keilmuannya.
Terdapat beraneka ragam definisi komunikasi, hingga pada tahun 1976 saja Dance dan Larson berhasil mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan. Mereka mengidentifikasi tiga dimensi konseptual penting yang mendasari perbedaan dari ke-126 definisi temuannya, yaitu:
  1. Tingkat observasi atau derajat keabstrakannya Yang bersifat umum, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Yang bersifat terlalu khusus, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah alat untuk mengirimkan pesan militer, perintah, dan sebagainya melalui telepon, telegraf, radio, kurir, dan sebagainya. 
  2. Tingkat kesengajaan Yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang menyatakan komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Sementara definisi yang mengabaikan kesengajaan, misalnya dari Gode yang menyatakan komunikasi sebagai proses yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih. 
  3. Tingkat keberhasilan dan diterimanya pesan Yang menekankan keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran informasi untuk mendapatkan saling pengertian. Sedangkan yang tidak menekankan keberhasilan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses transmisi informasi.
Dengan beragamnya definisi komunikasi, sementara definisi itu diperlukan untuk menggambarkan objek ilmu komunikasi secara jelas dan jernih, maka pada tahun 1990-an para teoritisi komunikasi berdebat dan mempertanyakan apakah komunikasi harus disengaja? dan Apakah komunikasi harus diterima (received)? Setelah beradu argumentasi, para ahli sepakat untuk tidak sepakat dan menyatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga perspektif (sudut pandang) / paradigma yang dapat diakomodir.
Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhi dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya. Berikut ini adalah uraian atas ketiga paradigma sebagai hasil ”kesepakatan untuk tidak sepakat” dari para teoritisi komunikasi:
1.   Paradigma-1
     Komunikasi harus terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan seseorang dan diterima oleh orang lainnya. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, dan pesan itu harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan itu sendiri, dan komunikan penerima. Implikasinya, jika pesan tidak diterima, tidak ada komunikan, karena tidak ada manusia yang menerima pesan. Jadi tidak ada komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan kajian paradigma ini. Misalnya, ketika seorang teman melambai pada kita tapi kita tidak melihat, ini bukan komunikasi yang menjadi kajiannya, karena kita selaku komunikan tidak menerima pesan itu. 
2.   Paradigma-2
   Komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima, apakah disengaja atau tidak. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan tidak harus disampaikan dengan sengaja, tapi harus diterima. Paradigma ini relatif mengenal istilah komunikan penerima. Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku komunikasi dinamai sebagai komunikator mengingat keduanya mempunyai peluang untuk menyampaikan pesan, baik disengaja maupun tidak, yang dimaknai oleh pihak lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai komunikan yang dimaknai sebagai semua manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama ada pemaknaan pesan pada salah satu pihak, adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika kita dengan tidak sengaja melenggang di tepi jalan dan supir taksi berhenti serta bertanya, ”Taksi, pak?” ini adalah komunikasi yang menjadi kajiannya karena supir itu telah memaknai lenggangan kita yang tidak sengaja sebagai panggilan terhadapnya, tanpa terlalu mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.
3.   Paradigma-3
      Komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan sengaja, namun derajat kesengajaan sulit untuk ditentukan. Paradigma ini menyataan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, tapi tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan, dan target komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan tapi kita tidak melihat, ini merupakan komunikasi yang menjadi kajiannya. Pertanyaannya adalah mengapa pesan itu tidak kita terima? Gangguan apa yang sedang terjadi, apakah pada salurannya? Atau pada alat penerima (mata kita)? Atau ada hal lainnya?
Ketiga paradigma ini dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

Sengaja
Diterima
Syarat
Paradigma-1
V
V
Komunikator, pengirim pesan, dan komunikan penerima.
Paradigma-2
X
V
Tidak mempersoalkan komunikator-komunikasi selama ada pihak yang menerima dan memaknai pesan. Seluruh pelaku komunikasi disebut komunikator atau bahkan mendefinisikannya sebagai komunikan, yaitu manusia pelaku komunikasi.
Paradigma-3
V
X
komunikator pengirim, pesan, dan target komunikan penerima
Tiga Paradigma Objek Kajian Ilmu Komunikasi

Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih telah membaca Resume Filsafat Komunikasi, Jika ada yang Kurang Faham, kalian bisa bertanya melalui komentar, Terima kasih.