Home » » Pengertian Hukum Perdata

Pengertian Hukum Perdata

Di Posting Oleh : Admind.msc- The Vamphire 8.01.2011 -4:04 PM


BAB I
HUKUM PERDATA

A. Pengertian
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
B. Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia [1924] sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1980 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1938 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda [sunting] KUHPerdata,Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan. Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
(Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)
BUKU KESATU
ORANG
MENIKMATI DAN KEHILANGAN HAK KEWARGAAN
(Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan
Tionghoa)
Pasal 1
Menikmati hak-hak kewargaan tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan.
Pasal 2
Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir,setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada.
Pasal 3
Tiada suatu hukuman pun yang mengakibatkan kematian perdata, atau hilangnya segala hak-hak kewargaan.

AKTA-AKTA CATATAN SIPIL
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan
Tionghoa)

BAGIAN 1
Daftar Catatan Sipil Pada Umumnya

Pasal 4
Tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 10 Ketentuan-ketentuan Umum Perundangundangan di Indonesia, maka bagi golongan Eropa di seluruh Indonesia ada daftar kelahiran,daftar lapor kawin, daftar izin kawin, daftar perkawinan dan perceraian, dan daftar kematian.Pegawai yang ditugaskan menyelenggarakan daftar-daftar tersebut, dinamakan Pegawai Catatan Sipil.

Pasal 5
Presiden, setelah mendengar Mahkamah Agung menentukan dengan peraturan tersendiri,tempat dan cara menyelenggarakan daftar-daftar tersebut, demikian pula cara menyusun aktaakta dan syarat-syarat yang harus diperhatikan. Dalam peraturan itu harus dicantumkan juga.

C. Sejarah hukum perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813) Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia [1924] sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1980 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1938 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu:
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdat belanda.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Un HukumDagang)

Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda [sunting]KUHPerdata Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.


BAB II
Alur Peradilan Tata Usaha Negara


A. Perbedaan dengan hukum acara perdata
Hukum acara pengadilan tata usaha Negara merupakan hukum acara yang secara bersama-sama diatur dengan hokum materiilnya didalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986.
Ada beberapa ciri khusus yang membedakan antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan lainnya, yaitu:
a. Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil
b. Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara). Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat (orang atau badan hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
c. Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.
d. Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata Usaha Negara yang digugat.
e. Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.
f. Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.
g. Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim membuat putusannya.
h. Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.
i. Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil enggan tujuan menyelaraskan, menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.

B. Penyelesaian sengketa tata usaha Negara
Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
1. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986) Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usah Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.Bentuk upaya administrasi:
a. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh bersangkutan.
b. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.
2. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986) Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:
a. Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
b. Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.

C. Hak penggugat

1. Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usahan Negara.(pasal 53)
2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)
4. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
5. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).
6. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)
7. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)
8. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
9. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82)
10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1)
12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)
13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)
14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

D. Kewajiban Paenggugat

Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)
Hak penguggat:
1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)
3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)
4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2),
5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81),
6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1),
7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)
8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
9. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132).

E. Kewajiban tergugat

1. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9):
a. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat (pasal 117 ayat 1),
3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120),
4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121).

F. Proses pemeriksaan gugatan di ptun pemanggilan pihak-pihak
Pada Pengadilan Tata Usaha Negara, pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa dilakukan secara administrative yaitu dengan surat tercatat yang dikirim oleh panitera pengadilan,Pemanggilan tersebut mempunyai aturan sebagai berikut:
a. Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.(pasal 65 UU No 5 tahun 1986)
b. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara (pasal 64 UU No 5 tahun 1986)

G. Kewajiban hakim
1. Mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas (pasal 63)
2. Menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan perintahnya dilaksanakan dengan baik (pasal 68).
3. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan salah seorang hakim anggota atau panitera (pasal 78 ayat 1)
4. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasehat hukum (pasal 78 ayat 2)
5. Mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa (pasal 79 ayat 1)
6. Menanyakan identitas saksi-saksi (pasal 87 ayat 2)
7. Membacakan Putusan Pengadilan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 108 ayat 1)

H. Pihak ketiga

1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83)
2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1).


BAB III
HUKUM WARIS

A. Pengertian Hukum Waris

Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian.Peristiwa kematian itu terjadi pada seorang anggota keluarga, misalnya ayah, ibu atau anak. Apabila orang yang meninggal itu memiliki harta kekayaan, maka yang menjadi pokok persoalan bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang ditinggalkan. Artinya siapakah yang berhak atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh almarhum itu? Siapakah yang wajib menanggung dan membereskan hutang-hutang almarhum jika ia meninggalkan hutang yang menjadi kewajibannya?
Dengan demikian jelaslah bahwa waris itu di satu sisi berakar pada keluarga dan di sisi lain berakar pada harta kekayaan. Berakar pada keluarga karena menyangkut siapa yang menjadi ahli waris, dan berakar pada harta kekayaan karena menyangkut hak waris atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh almarhum. Dalam pengertian waris tersimpul.Subjek waris yaitu anggota keluarga yang meninggal dan anggota keluarga yang ditinggalkan atau yang diberi wasiat oleh almarhum, peristiwa kematian yang menjadi sebab timbulnya waris, hubungan waris yaitu peralihan hak dan kewajiban pewaris kepada ahli waris, objek waris yaitu harta warisan peninggalan almarhum semua itu diatur oleh hukum waris.
.
Dari pengertian-pengertian mengenai hukum waris yang telah dijelaskan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa untuk terjadinya suatu pewarisan diperlukan 3 unsur yaitu : pewaris, ahli waris dan harta warisan. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia meninggalkan harta kepada orang lain. Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk sebagian. Harta warisan adalah segala harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia. Yang dapat diwariskan kepada para ahli waris yaitu hanyalah hak dan kewajiban yang meliputi bidang harta kekayaan saja. Hak-hak yang masuk bidang harta kekayaan yang tidak dapat diwariskan antara lain yaitu hak untuk menikmati hasil, hak untuk mendiami sebuah rumah, hak yang lahir dari hubungan kerja, dan lain
sebagainya. Menurut Wahyono Darmabrata, hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan yang tidak beralih, misalnya :
a. Hubungan kerja atau hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang sifatnya sangat pribadi, mengandung prestasi yang kaitannya sangat erat dengan Pewaris. Contohnya : hubungan kerja pelukis, pematung, sebagaimana diatur dalam Pasal 1601 dan Pasal 1318 KUHPerdata;
b. Keanggotaan dalam perseorangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1646 ayat (4) KUHPerdata;
c. Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya orang yang member kuasa, diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata;
d. Hak untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian, berakhir dengan meninggalnya si anak, diatur dalam Pasal 314 KUHPerdata;
e. Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki hak tersebut, diatur dalam Pasal 807 KUHPerdata. (Wahyono Darmabrata, 1994 : 3)
Hak yang bersumber kepada hukum keluarga yang dapat diwariskan yaitu hak untuk mengajukan tuntutan agar ia diakui sebagai anaknya, hak untuk menyangkal keabsahan seorang anak, dan lain sebagainya.Menurut Wahyono Darmabrata, ada juga hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga yang ternyata dapat diwariskan, misalnya :
a. Hak suami untuk menyangkal keabsahan anak, ternyata dapat dilanjutkan oleh para ahli warisnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 257 jo. Pasal 252 jo Pasal 259 KUHPerdata.
b. Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh para ahli warisnya, kalau tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak yang menuntut keabsahan, yang sementara perkaranya berlangsung telah meninggal dunia. Hal-hal yang diatur dalam Pasal 269, 270, dan Pasal 271 KUHPerdata, secara garis besar menetapkan bahwa seorang anak dapat mewujudkan tuntutan agar ia oleh pengadilan dinyatakan sebagai anak sah. (Wahyono Darmabrata, 1994 : 3)

B. Hukum Waris Yang Berlaku di Indonesia
Di Indonesia hingga saat ini masih tedapat tiga jenis hukum waris yang berlaku. Salah satu diantaranya adalah hukum waris yang diatur menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt). Sedang dua lainnya adalah hukum waris Islam dan hukum waris adat. Masih
terdapatnya tiga jenis hukum waris tersebut disebabkan hingga saat ini belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional.Oleh karenanya dalam memberlakukan hukum waris bagi penduduk Indonesia, kita perlu melihat pilihan hukum mana yang dianut oleh masing-masing penduduk Indonesia serta dasar hukumnya.

C. Tempat Hukum Waris
Hukum waris diatur dalam Buku II tentang kebendaan dalam Titel XII sampai dengan Titel XVIII (dalam KUHPerdata Belanda diatur dalam Titel XI sampai dengan Titel XVII). Hukum waris yang ditempatkan pada Buku II KUHPerdata secara garis besar dibedakan menjadi 2 yaitu, dalam titel XII dan titel XIII. Pada titel XII mengatur mengenai pewarisan karena kematian atau disebut juga dengan pewarisan menurut Undang-undang yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Ab intestato. Titel XII ini dibagi lagi menjadi 3 bagian besar yaitu:
a. Bagian I tentang ketentuan umum. Bagian ini antara lain mengatur mengenai syarat umum terjadinya pewarisan. Meskipun syarat umum ini ditempatkan di dalam titel XII tentang pewarisan menurut Undangundang, namun sebenarnya syarat umum ini berlaku juga untuk pewarisan karena testamen / surat wasiat. Jadi ketentuan pada bagian pertama ini di samping berlaku untuk pewarisan menurut Undangundang, berlaku juga untuk pewarisan karena testamen.
b. Bagian II mengatur tentang pewarisan bagi para keluarga sedarah yang sah maupun luar kawin, beserta suami / istri yang hidup terlama.
c. Bagian III mengatur pewarisan dalam hal adanya anak-anak luar kawin, sedangkan pada titel XIII, di sana diatur khusus mengenai pewarisan karena surat wasiat / testamen.

D. Macam Pewarisan
Ada 2 macam pewarisan menurut KUHPerdata, yaitu :
a. Pewarisan menurut Undang-undang atau karena kematian atau Ab Intestato atau tanpa wasiat.
b. Pewarisan dengan surat warisan atau testamentair.
Apabila ada orang yang meninggal dunia, pertama-tama yang harus diperhatikan yaitu apakah yang meninggal itu pada waktu hidupnya mengadakan ketentuan-ketentuan mengenai harta bendanya. Misalnya, dengan membuat surat wasiat yang isinya seluruh hartanya diberikan
kepada pihak ketiga yang bukan keluarga sedarahnya. Selanjutnya apabila ada ketentuan-ketentuan seperti tersebut diatas, maka yang perlu diperhatikan yaitu apakah ketentuan yang tetrdapat dalam surat wasiat itu melanggar bagian mutlak (Legitieme Portie) dari ahli waris
yang mempunyai bagian mutlak (Legitimaris) atau tidak. Apabila melanggar bagian mutlak, maka surat wasiat tersebut harus dipotong sebesar kekurangan bagian mutlak yang dipunyai legitimaris. Dan apabila suret wasiat itu tidak melanggar bagian mutlak, maka apa yang tercantum dalam surat wasiat langsung dapat diberikan kepada yang ditunjuk, dan sisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada (ahli waris menurut undangundang). Sebaiknya apabila saat meninggalnya seseorang itu tidak ada ketentuan surat wasiat, maka harta warisan tersebut langsung dapat dibagi menurut ketentuan yang berlaku.

E. Syarat Pewarisan

Untuk terjadinya suatu pewarisan harus dipenuhi beberapa syarat tertentu baik oleh orang yang berkedudukan sebagai pewaris maupun oleh orang yang berkedudukan sebagai ahli waris.
1. Syarat Sebagai Pewaris
Syarat sebagai pewaristerdapat dalam Pasal 830 KUHPerdata dimana syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pewaris dimana pewarisan hanya terjadi karena kematian, dalam hal ini kematian yang dimaksud adalah kematian yang wajar atau alamiah.
2. Syarat Sebagai Ahli Waris
Untuk memeperoleh kedudukan sebagai ahli waris, seseorang harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
a. Harus mempunyai hak atas warisan si pewaris, yang dapat timbun karena adanya hubungan darah antara pewaris dengan ahli waris baik sah ataupun luar kawin (Pasal 832 KUHPerdata) atau dapat timbul karena adanya suatu pemberian melalui sebuah wasiat (Pasal 874 KUHPerdata).
b. Harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. (Pasal 836 BW), dengan menunjuk suatu pengecualian yang diatur dalam Pasal 2 KUHPerdata.
c. Tidak termasuk orang yang dinyatakan tidak patut (Pasal 838 BW), tidak cakap (Pasal 912 BW), atau menolak warisan (pasal 1058 BW).

F. Hak-hak Yang Dipunyai Ahli Waris
Hak-hak yang dimiliki ahli waris yaitu :
1. Hak Saisine Pasal 833 ayat (1) KUH Perdata berbunyi : Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum, memperoleh hak atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang meninggal dunia. Apa yang tercantum dalam Pasal 833 ayat (1) adalah hak saisine. Hak saisine tidak hanya pada pewarisan menurut Undangundang tetapi juga ada pada pewarisan dengan adanya surat wasiat (Pasal 955 KUHPerdata). Hak saisine ini tidak dipunyai oleh negara, hak saisine inilah yang membedakan negara sebagai ahli waris dengan hali waris lainnya. Jadi kalau semua ahli waris sudah tidak ada, maka semua harta warisan akan jatuh kepada negara, namun dalam hal ini negara tidak memperoleh harta warisan secara otomatis, tetapi terlebih dahulu harus ada keputusan dari Pengadilan Negeri (Pasal 833 ayat (3) KUHPerdata).
2. Hak Hereditatis petitio. Pasal 834 dan Pasal 835 KUHPerdata mengatur hak untuk menuntut pembagian dari dalam harta warisan yang disebut dengan nama Hereditatis Petitio. Pasal 834 KUHPerdata berbunyi : “Tiap-tiap waris berhak memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka, yang baik atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hakpun menguasai seluruh atau sebagaian harta peninggalan, sepertipun terhadap mereka, yang secara licik telah menghentikan penguasaannya. Ia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan, jika ia adalah waris astu-satunya, atau hanya untuk sebagian, jika ada beberapa waris lainnya. Gugatan demikian adalah untuk menuntut, supaya diserahkan kepadanya, segala apa yang dengan dasar hak apapun juga terkandung dalam warisan beserta segala hasil, pendapatan dang anti rugi, menurut peraturan termaktub dalam bab ketiga buku ini terhadap gugatan akan pengembalian barang milik”. Jadi dengan adanya hak ini seorang ahli waris berhak mengajukan tuntutan untuk pengembalian barang-barang waris kepadanya:
a. Sesama ahli waris yang menguasai seluruh / sebagian harta peninggalan.
b. Pihak ketiga yang menguasai harta peninggalan dengan tujuan memilikinya.
c. Mereka yang meskipun tidak mempunyai hak atas barangbarang warisan tersebut telah memindahtangankan / membebani barang-barang warisan. Hak hereditatis petition selain dimiliki oleh para ahli waris, juga dimiliki oleh seorang pelaksana wasiat
3. Hak Untuk Menuntut Bagian warisan. Hak ini ialah yang terpenting dan merupakan ciri khas dari hukum waris barat, yang diatur dalam Pasal 1066 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut : Ayat (1) : ”Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangusngnya harta peninggalan itu dalam keadaan tak terbagi”. Ayat (2) : ”Pemisahan harta itu setiap waktu dapat dituntut biarpun ada larangan untuk melakukannya”. Dari dua ketentuan ayat di atas jelas menggambarkan ciri khas masyarakat Eropa Barat yaitu individualis. Jadi, seketika warisan terluang, seketika itu juga dapat dituntut pembagian warisan, dengan tidak melihat apakah ada larangan / tidak atau apakah ada anak yang belum dewasa / tidak, meskipun anak ini sebenarnya menghendaki kesatuan harta untuk pendidikannya. Bila terjadi diantara para ahli waris yang membutuhkan kesatuan harta, maka sebetulnya ada ketentuan mengenai penundaan pembagian warisan yang sifatnya tidak mutlak, yaitu yang diatur dalam Pasal 1066 ayat (3) KUHPErdata sebagai berikut : :Naum dapatlah diadakan persetujuan untuk selama satu waktu tertentu tidak melakukan pemisahan”. Jadi bila dikehendaki, penundaan pembagian warisan, bisa dilakukan dengan persetujuan terlebih dahulu, dan harus ada kata sepakat bulat, tetapi persetujuan yang demikian ini, hanyalah mengikat untuk selama 5 tahun, dan setelah lewat tenggang waktu tersebut, persetujuan itu bila dikehendaki bisa diperpanjang lagi untuk masing-masing paling lama 5 tahun.
Hal ini seperti apa yang dinyatakan dalam Pasal 1066 ayat (4) KUHPerdata sebagai berikut : ”Persetujuan yang demikian hanyalah mengikat untuk 5 tahun, namun setelah lewatnya tenggang waktu ini, dapatlah persetujuan itu diperbaharui”. Jadi persetujuan itu hanya untuk paling lama 5 tahun dan tidak bias misalnya diperjanjikan sampai anak-anak menjadi dewasa.
4. Hak Untuk menolak warisan. Hak untuk menolak warisan diatur dalam Pasal 1045 jo. Pasal 1051 KUHPerdata. Seorang ahli waris menurut Pasal 1045 KUHPerdata tidak harus menerima harta warisan yang jatuh kepadanya, bahkan apabila ahli waris tersebut telah meninggal dunia, maka ahli warisnya pun dapat memilih untuk menerima atau menolak warisan (pasal 1051 KUHPerdata).

BAB IV
PEWARISAN KARENA KEMATIAN
(MENURUT UU)

1. Penggolongan Ahli Waris

Walaupun Undang-undang (Pasal 832 KUH Perdata) telah menyatakan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, namun ketentuan ini masihlah bersifat umum, karena ternyata tidak semua keluarga sedarah itu muncul secara bersama-sama pada saat pewaris meninggal dunia. Undang-undang engatur lebih lanjut, mengenai siapa-siapa yang harus tampil lebih dahulu di antara para keluarga sedarah yaitu dengan membagi para keluarga sedarah menjadi 4 golongan, yang munculnya secara bergantian. Jika masih ada ahli waris golongan I, maka orang-orang / keluarga sedarah dari golongan II tidak dapat muncul untuk menerima warisan, golongan II baru muncul setelah ahli waris golongan I tidak ada, demikian seterusnya sampai dengan golongan IV. Adapun mengenai pengaturan golongan-golongan tersebut sebagai berikut :
a. GOLONGAN I = anak atau keturunannya dan janda atau duda.
b. GOLONGAN II = orang tua (bapak dan ibu) saudara-saudara atau keturunannya.
c. GOLONGAN III = nenek dan kakek, atau leluhur lainnya di dalam garis ke atas.
d. GOLONGAN IV = sanak keluarga di dalam garis ke samping sampai tingkat ke-6.
2. Penderajatan
Persederajatan penting artinya yaitu :
a. Untuk menentukan jauh dekatnya hubungan keluarga sedarah.
b. Untuk menentukan hubungan keluarga dalam garis kesamping yang masih berhak atau tidak berhak lagi mewaris.
Ada 2 macam hubungan kekeluargaan, yaitu hubungan kekeluargaan sedarah dan hubungan kekeluargaan semenda. Kekeluargaan sedarah diatur dalam Pasal 290 ayat (1), yaitu : ”Keluarga sedarah adalah pertalian keluarga antara mereka, yang mana yang satu adalah keturunan yang lain, atau yang semua mempunyai nenek moyang yang sama”. Yang dimaksud dengan keluarga semenda yaitu :
a. Suatu pertalian keluarga yang diakibatkan karena perkawinan.
b. Sesuatu antara seseorang di antara suami istri dan para keluarga sedarah lainnya (pasal 295 ayat 1).
c. Antara para keluarga sedarah si suami dan keluarga sedarah si istri bukanlah merupakan keluarga semenda (Pasal 295 ayat 2) Penghitungan persederajatan dihitung dengan jumlah kelahiran tiap-tiap kelahiran dinamakan derajat. garis lurus yaitu urutan persederajatan antara mereka yang satu adalah keturunan yang lain. Garis lurus adalah urutan persederajatan antara mereka yang satu adalah keturunan yang lain.Garis lurus terdiri dari garis lurus ke bawah dan garis lurus ke atas. Garis lurus ke bawah yaitu hubungan nenek moyang dengan keturunannya. Garis lurus ke atas yaitu hubungan antara seseorang dan sekalian mereka yang menurunkannya. Sedangkan yang dimaksud dengan garis menyimpang adalah urutan persederajatan antara mereka yang mana yang satu bukanlah keturunan yang lain, melainkan yang mempunyai nenek moyang yang sama (Pasal 291).

GOLONGAN
A. Golongan I

Pasal 852 KUH Perdata menentukan :
1. Anak-anak atau sekalian keturunan mereka biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan laki-laki dan perempuan dan tiada perbedaan kelahiran lebih dahulu.
2. Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke astu dan masingmasing mempunyai hak karena diri sendiri ; mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka sebagai pengganti. Ahli waris dalam golongan I yaitu suami / isteri pewaris dan keturunannya (anak). Rumusan pembagian per kepala / tiap kepala sama. Dalam golongan satu ada dua macam anak yaitu anak sah dan anak luar kawin.
B. Golongan II
Diatur dalam Pasal 854 sampai dengan Pasal 857 KUH Perdata. Pasal 854 KUH Perdata menentukan apabila golongan I sudah tidak ada, maka yang berhak mewaris adalah golongan II, yaitu Ibu dan Saudara-saudara atau keturunannya. Adapun pembagiannya : I. Pasal 454 KUH Perdata (Orang Tua Lengkap) : lkalau ada 1 saudara, orang tua dapat : 1/3. lkalau ada 2 saudara atau lebih, orang tua dapat : 1 / 4. L bagian minimal orang tua : 1/ 4 l bagian saudara : sisa setelah dikurangi bagian orang tua.
C. Golongan III dan Golongan IV
Apabila pihak bapak yang ada keluarga dalam garis menyimpang, misalnya dalam derajat ketiga, maka warisan untuk pihak bapak jatuh kepada keluarga dalam garis menyimpang dalam derajat ketiga tersebut untuk seluruhnya. Demikian juga apabila pihak ibu yang ada, yaitu kakek dan nenek, maka warisan untuk pihak ibu jatuh kepada kakek dan nenek tersebut dalam pembagian yang sama. (Pasal 853 jo Pasal 859 dan Pasal 861 KUHPerdata). Untuk memperjelas bunyi Pasal 853 jo Pasal 859 dan Pasal 861 KUHPerdata, dibawah ini dikemukakan contoh kasus sebagai berikut : A meninggal dunia meninggalkan seorang keluarga dalam garis menyimpang dari pihak bapak dalam derajat 3 bernama B dan seorang nenek dari pihak ibu bernama C. Harta warisan A sebanyak 1 bagian.
D. Mewaris atas dasar kedudukan sendiri
Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri disebut juga dengan mewaris langsung. Ahli warisnya adalah mereka yang terpanggil untuk mewaris berdasarkan haknya/kedudukannya sendiri. Mewaris atas dasar kedudukan sendiri adalah orang yang mempunyai kedudukan sebagai ahli waris dalam harta peninggalan.
Dalam pewarisan berdasarkan kedudukan sendiri pada asasnya ahli waris mewaris kepala demi kepala (Pasal 852 ayat (2) KUH Perdata). Orang yang mewaris atas dasar kedudukan sendiri dalam susunan keluarga si pewaris mempunyain posisi yang memberikan kepadanya hak untuk mewaris. Haknya tersebut adalah haknya sendiri, bukan menggantikan hak orang lain. Mewaris kepala demi kepala artinya tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama besarnya. A meninggal dunia, meninggalkan 3 orang anak bernama B,C,D.Ketiganya dinyatakan tidak patut untuk mewaris harta warisan A. disamping itu A mempunyai 6 orang cucu. Masing-masing,bernama E,F (anak B), G (anak C), K,L,M (anak D). Harta warisan A 1 bagian. Berapa yang diterima masing-masing ahli waris A ? l Ahli waris A yaitu: E,F,G,K,L,M. l Berhubung garis pertama dalam golongan satu semua dinyatakan tidak patut, maka E,F,G,K,L,M, mewaris atas dasar kedudukan sendiri,mmasing-masing kepala demimkepala sama.ml Jadi, E = F =G = K = L = M = 1/6.mSeandainya orang yang tidak patut tersebut meninggal duniamterlebih dahulu. Pembagiannya menurut Pitlo, anak-anak yang tidak patut tersebut tidak mewaris atas dasar kedudukan sendiri, tetapi mewaris atas dasar penggantian tempat. Pembagiannya pancang demi pancang.
l E dan F = 1/3.
l E = F = 1/3 x ½ = 1/6.
l G = 1/3.
l K = L = M = 1/3 x 1/3 = 1/9.

BAB V
PEWARISAN ANAK LUAR KAWIN

1. Pengertian Anak Luar Kawin

Mengenai pengertian anak luar kawin, dapat kita bedakan menjadi tiga golongan :
a. Anak Zinah, yaitu seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, yang salah satu atau keduanya terikat dengan perkawinan lain.
b. Anak sumbang, yaitu seorang anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita, yang menurut undangundang tidak diperkenankan nikah satu sama lain. Misalnya, anak yang dilahirkan dari hubungan antara kakak dan adik.
c. Anak Alami, yaitu seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan, tetapi kedua orang tuanya tidak terikat dengan perkawinan lain.

Dari ketiga golongan anak luar kawin di atas, anak zinah dan anak sumbang tidak dapat diakui. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 283 KUHPerdata yang berbunyai sebagai
berikut : ”Sekalian anak yang dibenihkan dalam zinah ataupun dalam sumbang, sekali-kali tidak bolah diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam Pasal 273” Oleh karena itu anak luar kawin yang dilahirkan dari zinah dan sumbang (kecuali ayah ibunya mendapat dispensasi, maka anak itu menjadi anak sah) tidak terjadi pewarisan dengan/ terhadap orang tuanya. Mengapa demikian? Karena pengakuan itu penting untuk timbulnya suatu hubungan keperdataan antara orang tua dengan si anak, seperti apa yang dinyatakan oleh Pasal 280 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut :
”Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata atara si anak dan bapak atau ibunya”. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pengakuan itu hanya dilakukan oleh si bapak, sedang si ibu tidak perlu melakukan pengakuan, karena hubungan perdata antara si ibu dengan si anak secara otomatis ada sejak anak itu lahir. Jadi dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud anak luar kawin di sini (dalam pewarisan ini) adalah anak luar kawin alam dan yang diakui. Karena hanya anak luar kawin alami yang diakui yang dimungkinkan untuk terjadinya pewarisan dengan / terhadap orang tuanya. Sedangkan anak zinah dan anak sumbang tidak terjadi pewarisan terhadap orang tuanya, kecuali anak sumbang yang dalam hal tertentu telah mendapat dispensasi dari Presiden. Mengenai cara-cara pengakuan terhadap anak luar kawin, ada beberapa cara yang bisa dilakukan, antara lain :
a. Dengan mencatat pengakuan itu dalam akta kelahiran si anak;
b. Dengan membuat pengakuan secara otentik, bisa oleh ibunya, bisa juga oleh ayahnya;
c. Dengan menikahnya kedua orang tuanya, pengakuan itu dicatat di dalam akta pernikahan kedua orang tuanya;
d. Dengan memasukkannya dalam surat wasiat (openbere testament).

Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih telah membaca Pengertian Hukum Perdata, Jika ada yang Kurang Faham, kalian bisa bertanya melalui komentar, Terima kasih.